Selasa, 20 Februari 2018

Sebuah Kepastian

Secuil jeritan hati seorang gadis yang berusaha menjadi dewasa. Hanya saja tidak akan ada awal, tapi akhir. Dia hanya meminta sebuah kepastian. Dia selalu menunggu dan menunggu disetiap detik nafasnya. Tidak ada sehari pun dia lewatkan tanpa bersabar dan menitihkan air mata. Harapan selalu muncul di benaknya. Tapi, dia tidak pernah tau apa yang dihadapinya. Situasi yang membuatnya selalu merasa kalah setiap dia mengungkapkan perasaannya.
.
.
.
.
Tahun itu tepat di bulan akhir dari 2015, Riva namanya. Dia sangat kalut, dia bingung, bimbang atas semua kesibukannya disela mengerjakan tugas akhir sarjananya. Dia sangat butuh seseorang yang bisa mendampinginya, memberikannya semangat atas kerja kerasnya di akhir tahun itu. Segudang kegiatan dia jalani, tanpa mengeluh sedikitpun ke orang tuanya. Dia hanya ingin menunjkukkan ke orang tuanya bahwa dia bisa bahagia dengan jalannya sendiri tanpa ada tekanan dari mereka.
Entah bagaimana dia bisa bertahan hidup di keadaan seperti itu. Dia harus berjuang sendiri menghadapi berbagai perlombaan, tugas akhir, dan urusan cintanya. Hari demi hari dilewatinya tanpa ada rasa ragu. 
Tak peduli orang diluar bicara apa tentangnya. Dia hanya ingin menjalani apa yang dia mau selama ini.
Belum beruntung pada perlombaan pertama, membuatnya berfikir agar dia berhenti mengikuti jalan itu. Memang sepertinya bukan itu jalannya. Disaat dia sudah lelah menelusuri jalan itu dan ingin berbalik arah, ibunya mendorong dia kembali itu mencoba melewati jalan itu. Saat itu dipikirannya hanya satu, baiklah kini restu dimilikinya dan dia harus mencobanya lagi. Entah apa yang terjadi dia berhasil di jalan itu karena mendadak semua keluarga mendukungnya.
Dampak baik pun dirasakan olehnya. Dia jadi dikenal banyak orang, dia membanggakan semua orang yang dekat dengannya. Prestasi itu pula yang menjadikan orang tuanya setuju untuk menerima segala permintaannya. Tidak dengan cintanya, setelah melewati berbagai proses kerasnya usaha yang dia lakukan. Dia hanya meminta satu hal sederhana agar di tahun akhir 2015 itu dia ingin pergi bersama dengan kekasihnya. Namun takdir berkata lain. 
Dia dibebankan tugas yang membuatnya tidak bisa pergi bersama kekasihnya. Dia harus berjuang lagi untuk bisa mempertanggungjawabkan gelar baru yang teah dia miliki sekarang. Dia hanya ingin bersama kekasihnya, tapi sang kekasih tidak mau mendengarkannya. Dia hanya diam, berpikir, dan berjuang disebuah asrama tempat karantinanya. Sang kekasih memutuskan pergi sendiri dengan koleganya. Betapa hancur hati Riva kala itu.
Dia hanya meminta untuk kekasihnya agar bersabar. Dia menginginkan tempat itu untuk dikunjungi berdua. Dia berharap agar sang kekasih mau menunggunya. Tapi kenyataan yang dia terima sangat menyesakkan dada. Sang kekasih telah memilih, dan itu harus dia terima. Mengapa disaat semua orang ingin dekat dengannya, sang kekasih memilih untuk melarikan diri darinya? Butuh waktu baginya menyulam kembali apa yang sudah robek oleh pedang. 
...
Hari berganti hari, dia berkeinginan untuk melepas status pacaran. Dia merasa hal itu menjadi semakin tidak baik. Dia meminta ke orang tuanya agar menerima sang kekasih. Orang tuanya yang sebelumnya tidak pernah mau menerima sang kekasih, akhirnya menerimanya dengan jaminan dia harus bisa lulus satu semester lebih cepat. Jaminan itu membuatnya semakin terbebani meskipun sudah ada pertemuan dua keluarga. Dia harus bisa membuktikan hal yang dia pikir dia tidak akan bisa.
Dia hanya ingin semangat dari kekasihnya. Berbagai kata dilontarkan agar dia bisa menjalani tanggung jawabnya mengerjakan tugas akhir. Dia tidak pernah putus asa dan selalu berusaha keras agar keinginannya terpenuhi. Waktu yang dinanti tiba, dia akhirnya lulus bergelarkan sarjana. Dia hanya ingin pertanggung jawaban dari setiap kata yang dilontarkan pada masa berjuangnya mengerjakan tugas akhi sebagai upah atas kerja kerasnya selama ini. Namun apa yang kekasihnya berikan? Hanya kata-kata tak berarti. Tidak ada nilai sama sekali pada perkataannya. Disaat dia menagih semua tanggung jawab perkataan kekasih, sang kekasih mengatakan bahwa dia hanya mengatakan itu karena Riva selalu mendesaknya agar cepat mempertemukan dua keluarganya. 
Betapa hancur hatinya saat dia mendengar sang kekasih mengucapkan kalimat itu. Seperti sudah membangun sebuah bangunan namun tiba-tiba sang kekasih menghancurkannya begitu saja. Namun apa salah kekasih disini? Tidak, pada saat ini kita tidak membicarakan benar salah. Jika kita membahasnya, maka yang salah hanya pada Riva. Dia terlalu percaya pada sebuah harapan yang nantinya akan terwujud jika dia berusaha. Padahal tidak selamanya kenyataan itu sesuai dengan harapan. 
Gedung yang dibangun olehnya dan kekasih tinggal sedikit lagi menjadi sebuah bangunan yang indah. Namun tangan kekasih memberikan coretan-coretan berbekas sebelum bangunan itu selesai. Apa yang diinginkan Riva? Dia hanya ingin kepastian dari selesainya bangunan itu. Dia bangun sendiri, apa bisa? Jika bukan sang kekasih yang membantunya siapa lagi? Saat ini dia berada di posisi yang sangat menyesakkan dada. Tidak ada lagi seorang kekasih yang mengayominya, mendengarkan semua ceritanya, keluh kesahnya, kesedihannya, bahagianya. Semua terasa berat baginya. Dia tidak ingin berada di posisi ini. Dia hanya butuh sebuah KEPASTIAN.
(izw)